Monday, December 11, 2017

Pelatih-Pelatih AC Milan, Bernostalgia di Atas Lapangan

gambar pinjem dari tifomilan

Nggak tau kenapa, belakangan saya jarang sarapan berita AC Milan. Biasanya tiap pagi, saya sempatkan saur dengan cerita AC Milan, Lakers Nation, dan Silver Screen and Roll. Belakangan rutinitas mengintip cerita italia bergeser ke SB Nation bagian NBA. Bukan baru-baru ini sih, mungkin sejak serie a masuk pecan ketiga atau kelima. Klo sempat, mengintip permainan AC Milan bukan lagi geregetan, tapi ya sudahlah. Permainan mereka nggak tau kenapa buat saya kurang menarik. Sejauh beberapa kali saya intip, cuma pergerakan melengkung Suso dari kanan yang menarik, mirip gaya Tony Parker di Spurs, selebijnya kok ndilalah, nggak ada yang saya inget.
Saya juga terkesan biasa aja pas Montella bukan lagi pelatih. Girang juga nggak, geregetan juga kagak. Saya malah kurang antusias hadirnya Gattuso, Motifnya klise dan bikin kalian yang ngintip coretan saya ngeklik silang dengan sukarela, riwayat melatihnya ngga istimewa, ngga bagus malah. Ngaitin dengan Inzaghi, rasanya kejauhan, meski mereka pernah maen bareng. Cuman saya kok jadi nyengir pas, tiba-tiba pengen nonton Milan maen, tentu aja bukan di lapangan, tapi depan layar, baru sekali, seinget saya, dari tiga pertandingan Gattuso.
Yang bikin nyengir bukan karena mereka kalah, karena hasilnya seri waktu itu, tapi cara mereka menerapkan gaya mereka di lapangan. Gatusso biasa berhadapan dengan pemain lawan satu lawan satu, saling berhadap-hadapan, saya senyum simpul ngeliat Bonaventura dan Rodiguez nampilin gaya yang sama sewaktu Milan maen lawan Benevento, dan di belakang Bonaventura, dua pemain siap melapis. Ketika bola dilebarkan ke kiri pemain Milan jadi gelagapan nutup ruang. Pas bola direbut pun rasanya sedikit ngga semangat liatnya lantaran bola sekedar dinikmatin sendiri. Rada mirip Inzaghi yang waktu itu, mengajak Menez asik bermain sendiri di depan, sedang yang lain rame-rame cepet-cepetan ke belakang, biar nggak keduluan pemain tim lawan.
Untuk yang satu ini, Montella, menurut saya lebih punya gambaran yang jelas, seenggaknya di mata saya. Sewaktu bertahan, Montella mastiin siap ruang terjaga. Empat orang berdiri sejajar, mudahnya, meski nggak selalu empat bek mereka, Bahasa basketnya weakside defense. Meski bola tidak digulirkan di area itu, bukan berarti dibiarkan tanpa penjagaan. bukan hal baru sih, tapi efektif eh efisien sejauh ini. Pun bola tidak berhasil diambil, bola nggak akan mudah masuk kotak penalti. Klo pun bola sudah balik lagi ke kaki Bonaventura misalnya, doi kaga kagok kudu ngoper ke mana, Cuma yang emang, pemain macam Biglia, Montolivo, atau Locatelli cenderung kurang berani mencari posisi enak buat nyerang. Praktis Cuma Kessie yang ujug-ujug udah ada deket kotak penalty buat nembak,  Bler, tiba-tiba tendangan Kessie nyamber aja dari luar kotak penalti.
Saya kok jadi heran. Perasaan mereka dilatih ma Ancelotti, yang gaya maennya kuat, nggak selamanya rapi sih, tapi pemaen yang Ancelotti tampilin punya tugas yang jelas. Seedorf ngebagi bola, mastiin bola nyampe ke kaki rekan dengan nyaman, Gattuso biasanya, ni biasanya, jadi orang pertama yang mastiin bola ngga sampe ke belakang, dan Pirlo ngumpan jauh dari belakang. Karena masing-masing pemaen udah ngelotok dan ngeh sama apa yang mesti mereka perbuat, Ancelotti ngasih kepercayaan tim untuk nentuin taktiknya sendiri di atas lapangan, tentunya sebagai sebuah tim. Herannya, begitu netes jadi pelatih (telor kali ah), masing-masing pemain ini, baru sekedar ngejadiin pemain yang mereka didik menjadi diri mereka di atas lapangan  

   

Friday, July 7, 2017

Serunya Perpindahan Pemaen NBA (versi uneg-uneg)


gambar pinjem Zimbio.com

Depth Chart NBA (sejauh ini), dengan catatan Rudy Gay blom ketulis masuk Spurs, Olynyk blom masuk Heat, Patterson (blom final) ke Nets, di luar nama-nama yang udah masuk wilayah barat jadi keren pisan. PG13 masuk (OKC), Buttler (T-wolves), Patterson (OKC). Tim barat juga makin kuat secara sesama barat ikut merapat. Galanari dari Nuggets ke Clippers,CP3 dari Clippers ke Rockets. Young ma Caspi nambah rame tembakan tiga angka di GSW. Wilayah timur justru jadi kurang nendang. Emang sih Hayward ke Celtics dan kalok jadi Marc Gasol ikutan, Malik Monk bikin Hornets tambah keren. Tapi penantang playoff wilayah timur laennya justu nggak bisa bergerak bebas di bursa karena pemaen pada pindah ke barat ma salary tim di atas rata-rata. Mau ga mau buat bisa bersaing mereka kudu ngelego pemaen, atau nyari pemaen (yang mau dibayar) murah. Sayang stok pemaen yang punya nama "besar" di free agent menipis. Paling tinggal Derrick Rose, Melo (klo jadi free agent) ma Rondo yang namanya relatip kinclong. Klo mereka mau "berkorban" gaji demi cincin juara jadinya seru, kayak Gasol di Spurs.
Daftar lengkap, sila kunjungi rotoworld.com

Yang jadi perhatian saya justru bukan Lakers, tapi Houston Rockets. Musim kemaren, mereka punya Harden, Baverley, Ariza, Anderson ma Nene di starter. Empat dari lima pemaen bisa nembak tiga angka. Di bench, mereka punya Harrell, Sam Dekker, ma Eric Gordon yang rutin jadi rotasi (sejak Cappella pulih, posisi Harrell lebih sering diisi Capella. Diluar Cappella/ Harrel, semuanya bisa nembak termasuk Dekker yang musim sebelomnya nggak ketauan bisa nembak. Abis All Stars, rotasi makin seru dengan masuknya Lou Williams. (Di luar Troy Williams yang bagus banget di awal doang), tim ini keren banget. Pertahanan juga bagus karena mereka punya Ariza ma Beverley yang jago defense. Mereka berdua sudah hadir di tim sebelum Mike D'antoni menyuntikan permainan yang banyak mengandalkan tembakan tiga angka. Musim ini, datengnya CP3 kudu ditebus ama pindahnya Dekker, Beverley, ma Lou Williams, di bench, di luar PJ Tucker dan Ryan Kelly, namanya nggak familiar, klo pun ngeh, musim lalu minute playnya jelas kalah ma nama-nama yang udah ganti seragam Clippers. Kira-kira siapa yang jadinya bakal jadi pelapis keren yak. Yang jelas, secara pribadi, saya bukan penggemar Melo. Tembakan 3 angkanya sih bagus cuman gaya maennya terlalu woles, defense-nya juga makasih banget #hestek #ngarep Mike Dunlevey ma Marrese Speight, klo nggak #Gerald Green #ngarepnya juga sama buat Lakers.
Buat Lakers, saya justru sedikit lebih optimis sama tim summer league mereka. Boleh dibilang, meski tim ini, sesuai sabda Magic Johnson, akan lebih bertumpu pada Brandon Ingram, sorotan justru jelas akan dialamatin sama Lonzo Ball. Pemaen ini bikin UCLA jadi penembak tiga angka yang luar biasa.Seenggaknya, Ball dikelilingi empat penembak jitu termasuk Power Forward TJ Leaf dan trio guard Bryce Alford, Isaac Hamilton, Aaron Holiday, dan Alex Wulf yang rata-rata menyumbang 0,5-7,5 .tembakan tiga angka, dengan akurasi 33-45%-an. Leaf, meski peluang nembaknya nggak banyak, masuk yang persentasenya besar.
Dari video basketball Lifestyles ini aja udah keliatan, kalok seenggaknya 5% dari 274 assistnya ngasilin tembakan tiga angka, beberapa di antaranya mid range shoot. Meski presentasenya blom seaduhai rekan-rekannya di UCLA, Bench sama third string pemain Lakers di pertandingan Summer League punya persentase tembakan tiga angka yang lebih bagus dari para starter, di antaranya Alex Brown, Travis Wear, dan Vander Blue. Ketiganya punya persentase tembakan tiga angka di atas 34%. Josh Hart memang punya akurasi tembakan tiga angka di atas 40%, tapi permainannya yang menusuk ke dalam membuat saya justru nggak menjagokannya sebagai sniper.
Brandon Ingram juga sedikit dipertanyakan. Meski akurasi tembakan tiga angkanya 41%, musim lalu tembakan tiga angkanya hanya masuk 25% Keseluruhan tembakannya juga cuma 40% yang masuk. Itu pun presentasenya baru meningkat belakangan selepas all star, di mana kepercayaan diri Ingram mulai naik selepas jeda libur bagi pemain yang nggak ikut all star itu. Selain tembakannya memang nggak akurat musim lalu, permainan Lakers juga nggak bisa seluwes dan seterbuka yang diharapkan.Forward mereka, Julius Randle dan Larry Nance (beserta Luol Deng dan Brandon Ingram) nggak berfungsi sebagai penembak jitu. Tembakan tiga angka mereka nggak akurat. Tembakan para forward inilah yang membuat Golden States Warriors maen gemilang sepanjang musim, begitu juga trio Sam Dekker, Ryan Anderson, dan Trevor Ariza, yang selain memang punya tembakan angka bagus, juga disuplai playmaker yang emang jago membuka ruang dan nembak, James Harden.
Guard Lakers, di sisi lain, musim lalu rentan cedera lantaran mereka bekerja keras, bukan hanya menjadi penembak jitu tapi sekaligus membuka ruang buat para forward yang punya ruang tembak terbatas. Nggak heran begitu guard Lakers bergantian cedera, sistem permainan jadi berubah karena pada dasarnya, di luar guard mereka, nggak ada pemain yang bisa mengatur permainan. Serangan jadi monoton di bawah jaring dan mudah dibaca.
Nggak heran, masa perpindahan pemain ini mereka mencari para penembak yang secara otomatis bisa membuka ruang. Pencarian ini ternyata nggak segampang yang dikira. Selain karena para pemain hanya dijanjikan kontrak setahun lantaran demi mendapat keleluasaan untuk bisa ngontrak Paul George dan (mungkin) Lebron James, pemain yang mereka punya dinilai kurang potensial. Kurang bisa nembak. Untuk ngelakuin trade juga terbilang sulit karena pemain yang ditawarkan untuk ditukar nggak bisa nembak tiga angka. Padahal pemain begitu yang paling banyak diminati (klo emang punya banyak kenapa nyari). Klo-pun jago nembak, mereka justru nggak dilepas.
Sayangnya pemaen yang tertarik dengan kontrak setaun ini justru pemaen yang tembakannya kurang bagus, Rajon Rondo, giliran bagus, terbilang udah tua, Permainan Jamal Crawford yang mulai lambat juga nggak sesuai filosofi Luke yang bisa dibilang meniru Rockets dan Warriors.
Nggak heran hari ini saya sambil menyelam minum aer, update perpindahan pemaen sembari ngeluarin uneg-uneg.

Friday, March 31, 2017

Klo Mau Ngirim File yang Gedenya Sak Hoha

 
https://cdn.tutsplus.com
 
Sebagai orang yang katanya hobi lirak-lirik kamus nyaris tiap hari (katanya sih begono, padahal ...), file gede kayaknya udah jadi makanan harian. Cuman selama berpuluh-puluh tahun sliwar-sliwer ama file gede (padahal blom selama ono), file yang gede lebih sering saya temuin pas ngunduh. Pas upload ngirim balik, entah kenapa filenya (sekedar kerasanya) nggak gede-gede amat. Bisa jadi nih kayaknya lantaran file yang dateng bentuknya kadang pdf. Pas ngirim ke pihak yang bersangkutan malih jadi produk office, yang terkadang klo dibandingin pakek ekstensi yang sama, file yang kita kirim sebenernya bisa jadi lebih gede. Sejauh ini, file yang saya kirim balik biasanya kisarannya puluhan sampek ratusan mega. Jadi meskipun kecepatan cenderung lebih  pelan, bedanya nggak terlalu kerasa.
Jujur baru kemaren-kemaren ini, saya ngelakuin salah satu hobi favorit saya, selancar buat cari cara supaya bisa ngirim file secepet donlot (Biasanya 10-20 menitan buat file kategori ratusan MB). Lha dalahnya baru kemaren-kemaren juga saya nemu sharefest, website peer to peer yang bisa ngirim file bahkan lebih cepet dari download file pakek idm. File segede 300 MB bahkan cuma perlu sekitar 7-10 detik (rasanya sih 2-3 detikan) buat dikirim. Misterinya adalah kadang loadingnya cepet pisan kadang juga ditinggu ampe sarapan tanduk nggak kedonlot-donlot juga. Kesimpulan sementara, satu url kadang cuman mandi eh manjur buat satu file doang. Satu kali kirim lebih tepatnya. Minimal hipotesis (jiahhh hipotesis) ini mencungul pas saya pake filePizza (jadi laper). Pas saya coba unduh file dari url yang sama, ternyata udah nggak nongol di sono. File pizza sendiri buat saya lebih transparan dalam hal progress donlot ketimbang sharefest. Minimal dari presentase yang ditampilin, saya bisa tau berapa lama saya kudu ngemil  sembari nunggu donlotan kelar. Klo mo ngebandingin antara sharefest ama filepizza, waktu unduh filepizza untuk satu file yang sama kira-kira setara ama waktu yang saya pake buat ngabisin dua pisang ambon. Karena itulah, saya coba  berpindah ke jasa penyedia p2p laen dulu. Siapa tau ada yang lebih cepet. Sejauh reep.io boleh juga. Minimal, sejauh yang saya coba, misteri kenapa file kaga mau kedonlot yang saya temuin beberapa kali pas pake sharefest lebih jarang terjadi. Terlebih kalok file yang saya kirim tak paswortin.  

Monday, March 20, 2017

Kalok Penasaran Sama Fiksi-Fiksi Keren ...


Cover aman novel Possession, pemenang Booker Prize 1990,
akhirnya nemu juga, padahal udah nyari sekitar sejar taon 2007-an begitu nonton tante Palthrow maen versi filmnya
 images-na.ssl-images-amazon.com/ 



Nggak semuanya sih. Nggak semua fiksi elektronik, baik itu buku atau film, bahkan nonfiksi sekalipun, bisa kita dapetin. Buku, fiksi, atau apa pun kita menyebutnya lebih mudah tersedia selama mereka populer. Masalahnya cuma kata kunci yang lebih pas aja.
Faktanya, novel Compass, Mathias Enard, yang diterjemahin Charlotte Mandell belum tersedia meski saya tambahin kata read online, tiap kali saya sempatkan melirik ke mesin pencari, padahal statusnya mentereng, masuk nominasi  booker prize 2017 (klo ada cara yang lebih jitu, saya bakal senang nerima saran, kripik, koreksi dan sebagainya). Wajar sih meski versi bahasa perancisnya sudah hadir dua tahun lalu, terjemahannya baru hadir belum lama, 28 maret.
Rada beda mungkin kalok bentuknya gambar bergerak. Mbak Belle yang kondang sekarang-sekarang, mbrojol tiga hari lalu, versi online udah ada, cukup tambahin kata online di belakang judulnya maka dalam sekejap, kita akan dapat banyak pilihan mo nonton di mana dengan kualitas gambar masih ala kadarnya.
Saya sendiri nggak terlalu berpatok pada library genesis untuk nyari non-fiksi atau fiksi bahasa asing, atau belakangan  book see. Saya juga nggak amat ngidolain sci-hub untuk ngebuka jurnal, atau nggak terlalu gatel nongkrongin fmovies untuk film atau serial, atau nginthilin dramacool klo pengen ngedrajep atau ngedrakor, karena bisa jadi buku atau film yang saya tengok, kaga atau seenggaknya blom nongol di sana. Saya sendiri biasa narok kata read online atau watch online klo penasaran ama fiksi yang dinanti di belakang kata kunci. Dan saya nemu buku tentang speechwriter bukan dari situs yang biasa saya intip tapi dari situs pemajang jurnal.
Sekali lagi, makin populer fiksi yang kita cari, kesempatan untuk dapetnya mungkin aja makin gede, secara pengunggahnya bejibun, 11-12 sama pengunggah terjemahan anime yang cuma selang tiga hari dari jadwal tayang. Dulu drama jepang juga sama sih, sekarang sebulan udah keren, jaman seputar tahun 2011-2012, jaman dramacrazy.net masih hadir. Sekarang dua minggu sekali aja udah keren, klo nggak sebulan. Tapi sekeren-kerennya dorama atau anime, atau film filipina, tetep drakor juaranya, nggak sampek 8 jam, serial tayang di sana, versi yang ada subtitle bahasa Inggrisnya minimal udah bisa dinikmati. Waktu yang bisa jadi orang koreanya sendiri blom sempat nonton. Versi bahasa kalbunya bahkan lebih ajaib. Serialnya lagi tayang, Minimal 15 menit di bagian awalnya udah bisa dinikmati, dengan catatan kita ngeh apa yang pemainnya obrolin. Klo dipikir-pikir sih nggak ajaib amat, secara saya bisa misuh-misuh, cuman jeda 10-15 detik lebih lambat dari masa tayang Lakers pas dikalahin sama Caveliers tadi pagi. Kuncinya tinggal ngecek pertandingannya antara siapa sama siapa terus ketik watch online dibelakangnya. Sekian, dan terima kamir anget nggak pake nanas #eh  

Monday, March 13, 2017

Ngapain Juga Ya Ngoleksi Pembuka PDF Banyak-Banyak Yak?


//www.capitatranslationinterpreting.com/ 

Saya, belakangan, lagi hobi, nyari pembuka PDF yang unik. Bukan sekedar pembuka pdf yang bisa ngedit pdf, tapi punya keunggulan yang unik, yang laen entah apa kek gitu.
Buat camilan sehari-hari, maksud saya ngedit, saya sih biasanya pake nitro 10, terbilang rada jadul sih, tapi paling kagak nitro yang satu ini bisa diunduh tanpa kudu ngoprek entah itu pake crack, patch, atau keygen, lantaran tinggal masukin serial number yang udah tersedia. Versi terbarunya sih udah ada, nitro 11, cuma ya itu, selain kedah ngoprek segala rupa.  Secara pribadi, versi terbaru, buat saya, sejauh pernah nyicip eh nyoba, sekedar lebih enak dipandang ketimbang versi sebelumnya. Fungsi lainnya, yang biasa saya uji coba, sejauh ini sami mawon, OCR, pengubah ekstensi file, ngegabungin sama ngebagi PDF,  atau buat ngasih catetan pada lembar-lembar PDF.
Teks di buku Coconut Cure ini babar blas ndak bisa diklik, biar bisa diklik cukup klik "Make Searchable/Editable" aja

Setau saya pakek Acrobat sih bisa, lebih nyaman malah katanya, katanya yang biasa makek sih #eh, cuman ya itu, katanya yang pernah makek, filenya abot eh gede.
Klo saya ditanya, kenapa pakek pdf editor, entah itu nitro atau foxit, jawaban yang keluar pertama justru bukan karena biar naskah pdf-nya biar bisa dijadiin word atau excel, tapi karena fungsi OCR-nya. Biar coretan yang nongol bisa dijamah-jamah. Kan binun juga klo dapet file pdf, tapi kaga bisa diapa-apain, sekedar dibaca doang. Disalin tak bisa, ditempel apalagi. Ya udah makannya saya pakek Nitro klo nggak Foxit.
 en.freedownloadmanager.org 

Cuma aplikasi yang satu ini tetep ada cumanya, OCR pdf editor begini biasanya cenderung kalem. Mindai teksnya masih kalah banter dari pemindai teks semodel readiris atau Abby, pemindai teks yang seringkali bikin teks yang dipindai tak lagi seindah tampilan format pdfnya. Untuk urusan mindai pdf model begini, Saya belakangan pakek Abby karena ndilalah pas lagi cari-cari pemindai versi mutakhir, ndilalah nemunya Abby. Entah itu Readiris, Abby atau Prizmo, dari sisi fungsi sih sami mawon. Bikin teks yang kita baca bisa diapa-apain eh dimacem-macemin. Jujur saya sendiri lebih doyan tampilan omnipage, lebih elegan bahasa kerennya, simpel klo kata sayanya mah, tapi berhubung belom pernah nyoba, saya tak ada daya tuk komentar banyak, meski konon, menurut bisik-bisik tante google, ABBY mampu memindai teks dengan bahasa yang lebih beragam  ketimbang pemindai lain, setara acrobat kata pcmag.
Pembuka file beginian, ternyata bukan sekedar buat makanan pokok eh cemilan sehari-hari buat saya, tapi juga buat baca-baca (mulai dari taraf serius sampe santai, saya sendiri lebih sukak nyebutnya belajar atau nambah pengetahuan, termasuk waktu nonton film atau denger musik). Dan buat saya, baca-baca kadang memerlukan format ekstensi yang lebih bersahabat. Itulah kenapa saya kadang milih pake Sumatra yang kondang bisa bukak ekstensi dari banyak rupa, dari pdf sampek mobi. Warnanya sephia, jadi nggak terlalu nyolok mata. Jelas klo buat baca yang serius tapi santai, Sumatra bisa jadi pilihan.
gambar diambil dari novel Viet Thanh Nguyen , The Sympathizer versi epun

Apakah segrambreng perangkat lunak eh aplikasi tadi cukup, mau saya sih gitu, tapi ndilalah kok ya blom. Ndilalah beberapa coretan lebih nyaman dinikmati klo ekstensinya berbentuk epub, lebih ringan kata orang-orang, dan emang ketimbang PDF atau Mobi, epub cenderung lebih ringkes, dan doyan nggak doyan, saya kudu berkawan sama calibre untuk mengkorversi file ke bentuk format yang dipengenin. Caranya? tinggal klik add book buat nampilin lembar digital yang pengen kita ubah formatnya, begitu judul bukunya udah kebaca di bagian muka calibre, tinggal klik deh ikon yang coklat buat ngubah formatnya. Selain bisa ngerubah bentuk ekstensi dari yang biasa sampek yang antah-berantah, enaknya pakek calibre, adalah karena tampilannya yang dibikin bersahabat buat mobi. tampilannya dibuat cocok untuk buka file kindle. Namun berhubung saya lebih nyaman  nangkring di PC, tampilan sumatra lebih pas secara pribadi buat saya. Secara umum, yang malesin mungkin cuman atu, nunggu, apalagi klo jumlah halaman (baca: filenya) ukurannya sak hoha.
Coretan saya kliatannya udah panjang nih, Apakah berarti udah kelar? Sayangnya justru blom, seenggaknya satu paragraf lagi, paragraf yang sejatinya jadi inspirasi nomor wahid, kenapa saya bikin coretan nggak genah ini, yaitu gimana serunya baca ekstensi-ekstensi tadi dengan ditemani selarik definisi yang bisa nongol seketika apabila dibutuhkan. Tinggal klik aja, tanpa perlu nyambung internet (meski tetep kudu download dulu sih kamusnya).
Amazon Kindle for PC 


Klo pembaca ibook tinggal membelai layar buat nyari istilah yang pengen dicari definisinya, penikmat PC model saya bisa pakek Kindle for PC. Prinsipnya sama, tinggal klik maka nongollah definisi yang dimaksud. Cara yang mungkin nggak patut ditiru penerjemah (lantaran mau praktisnya aja #eh), tapi bisa jadi layak diikuti mereka yang ingin belajar lebih banyak tentang diksi yang dipakek penulis. Bukan sekedar diksi sih, tapi juga konteks. Konteks terkadang akan makin mudah dipahami klo kita makin ngeh  sama konsep  diksi yang dikreasikan sepenuh hati oleh yang nulis. 
Setau saya, dari beberapa ebook yang pernah saya baca, baru harpot yang tampilan digitalnya 11-12 sama buku fisik

Kamus jadi kelebihan Amazon Kindle. Sayang secara pribadi Amazon kindle rada lemot klo mau digeser-geser halamannya. Selain itu, klo kita emang udah punya koleksi buku digital, untuk mindahin file dari folder kita ke kindlenya terbilang repot. Klo bentuknya pdf kudu impor pdf dulu. Klo bentuknya epub, kudu dijadiin mobi dulu. Enakan klo kita belinya dari amazon. tinggal diklik aja ebooknya secara formatnya udah mobi dari sononya. Dan yang hampir lupa, untuk bisa nampilin ebook dan download kamus monolingual di kindle, kita kudu bikin akun di amazon dulu, klo sign out, kamusnya ikut hangus, jadi kudu donlot lagi klo mo make aplikasinya. Itulah beberapa komentar ra mutu saya tentang pembaca pdf yang tak simpen dikompi saya.  Sekian Coretan nggak penting saya. Menawi wonten yang kurang pas monggo lho dikoreksi, ndak perlu sungkan. 

Wednesday, March 8, 2017

Mup On dari Harpot nyang Lama lewat Drama Harry Potter and the Cursed Child

 lytherus.com 

Kirain, saya bakal nemuin cerita tentang Harry Potter di Harry Potter and the Curse Child. Seenggaknya itulah harapan saya. Untungnya saya nggak nemuin apa yang saya pengen cari. Drama, yang sejauh ini (saya bilang sejauh ini, karena saya sengaja nggak ngerampungin dulu bacanya), buat saya lebih tepat dikasih Albus Severus Snape ini, ternyata nggak berupaya menjadikan drama ini sebagai Harry Potter versi selanjutnya atau Harry Potter versi kedua, dan  (sekali lagi) sejauh ini Rowling nggak berusaha njadiin karakter-karakternya “yang penting nggak mirip sama yang ada  di Harry Potter edisi-edisi sebelumnya.”  Kebalikan, yang ndilalah nuwun sewunya, saya temukan dalam sosok Eleanor Bishop dalam NCIS. Memang perbandingannya sama sekali nggak nyambung. Maksud saya dari segi mana pun Harry Potter bukan NCIS dan NCIS bukan Harry Potter. Tapi maksud saya di sini  adalah ketika saya melihat sosok Ellie Bishop, saya pribadi, justru mau nggak mau membandingkan sosoknya dengan Ziva David, sosok yang menjadi salah satu elemen masa keemasan NCIS. Saya membandingkan keduanya justru lantaran karakterisasi Bishop amat dibedakan dari David. Karakterisasinya justru berusaha dibuat nggak mendekati Ziva. Nggak perlu repot-repot mencari di mana bedanya. Lewat kesan pertama aja langsung nampak.  
Di sisi lain, apa yang saya liat dari Harry Potter kali ini, masing-masing karakter baru, punya nyawa sendiri. Nyawa yang juga saya temukan sejak kurang lebih 18-19 tahun yang lalu lewat versi terjemahan Harry Potter
Minimal lewat drama, kita bisa melihat bagaimana sifat Harry Potter atau Draco Molfoy menurun dengan takaran yang tepat, terkesan hati-hati mungkin istilah yang lebih pas, pada putra-putrinya (apalagi yang pembaca harapkan dari Harry Potter klo bukan nongolnya "rasa" Harry Potter  dalam cerita ini, minimal lewat karakter yang nongol minimal sekelebatan). Saya sendiri nggak akan ngejabarin bagian mana yang mirip dan bagian mana yang nggak mirip karena rasa Harry Potter ini merupakan bagian yang lebih asik kita temukan sendiri.
Mungkin memang nggak senikmat proses yang saya tempuh lewat lembar-lembar novelnya, lantaran bentuknya aja beda. Harry Potter kali ini memang sebuah naskah drama, naskah yang punya cara sendiri untuk dinikmati. Naskah yang seolah memang dibuat bagi penikmat  lama yang merindukan rasa baru, penikmat yang minimal ngeh apa dan siapakah Harry Potter, bukan penikmat yang ujug-ujug doyan dengan sekedar karya kali ini. 
Dan dari apa yang saya nikmati dengan cara saya, saya menemukan satu hal yang mencolok sejauh ini, dan sedari awal ndilalah ya belum berubah banyak. Apabila saya baru bisa ngedapet sisi Harry Potter yang kerasa banget nggak sabarannya setelah menjelang enam seri, di sini saya punya kesan pencarian jati diri, bahkan sedari sepuluh sampai lima belas halaman pertama. Bukan (cuma) pencarian jadi diri anak  pada pertengahan usia belasan tahun, tapi (juga) pencarian jati diri orang yang lebih dewasa. Mereka yang lebih dewasa kudu belajar "gimana sih jadi orang yang lebih tua" atau "Gue mo ngarahin anak-anak gue pakek model yang kayak apa sih" dan di sini ungkapan "pernah seperti kalian", "pernah seusia kalian" atau “pernah muda” dirasa nggak akan pernah cukup.
Jack Throne, pembesut drama, lumayan jeli mengarahkan pelatuknya,  bukan pada hal baru atau hal yang jarang dipandangi lekat-lekat dari Harry Potter  lantaran Harry Potter memang dikenal panasan sedari muda. Hanya saja kali ini bukan dibenturkan untuk menghadapi musuh bersama, tapi sengaja diujikan, dicemplungkan, pada problematika masa muda. Problematika Albus muda yang (merasa) lebih mengenal situasi dan Harry Potter dewasa yang merasa punya (cukup) pengalaman menghadapi pergaulan masa muda di jamannya. Sesuatu yang sebenarnya nggak mudah lantaran Harry, sewaktu muda belum pernah punya sosok panutan yang bisa disebut orang tua, orang yang mendampingi anak-anaknya di masa yang boleh dibilang menarik.  
Saya sendiri merasa beruntung udah buntu menjabarkan bagaimana kisah putra-putri Potter karena kalo dipanjangin jatuhnya jadi spoiler. Tapi dengan spoiler pula, saya mau menyampaikan yang menjadi uneg-uneg saya, uneg-uneg tentang bagaimana wujud Hermione dan Ron dewasa. Ron yang dari awal dikreasikan rada-rada:  rada bijak, rada lucu, dan rada gelagapan,   di masa muda, kehilangan sisi “pengecutnya”. Sisi di mana Ron menjadi rem bagi Hermione dan Harry ketika menghadapi petualangan seru. Sosok yang bukan sekedar menghardik ala Hermione muda tapi siap mundur-teratur apabila dirasa nggak masuk akal tanpa banyak kata. Kesan baru yang muncul dari Ron adalah perpaduan Fred, George dan bokapnya yang kocak lagi jail.
Hermione justru, buat saya, lebih parah.  Hermione yang ngebosan, dengan komentar tajem , ketus rasanya sirna. Kecerdasannya memang nggak luntur, tapi diksi yang keluar lebih ringkas. Antusiasme ala Hermione yang merekah tiap kali mendapat hal baru seakan ngilang begitu doi jadi perdana menteri sihir. Mungkin, sekali lagi mungkin, bukan karena  sifat Hermionie yang terkesan beda banget yang bikin saya protes, tapi sisi Hermione yang manusiawi yang belum tampak, sejelas Harry atau bahkan Molfoy, sampai pada titik saya membahas cerita ini (sepertiga bagian).