Wednesday, March 8, 2017

Mup On dari Harpot nyang Lama lewat Drama Harry Potter and the Cursed Child

 lytherus.com 

Kirain, saya bakal nemuin cerita tentang Harry Potter di Harry Potter and the Curse Child. Seenggaknya itulah harapan saya. Untungnya saya nggak nemuin apa yang saya pengen cari. Drama, yang sejauh ini (saya bilang sejauh ini, karena saya sengaja nggak ngerampungin dulu bacanya), buat saya lebih tepat dikasih Albus Severus Snape ini, ternyata nggak berupaya menjadikan drama ini sebagai Harry Potter versi selanjutnya atau Harry Potter versi kedua, dan  (sekali lagi) sejauh ini Rowling nggak berusaha njadiin karakter-karakternya “yang penting nggak mirip sama yang ada  di Harry Potter edisi-edisi sebelumnya.”  Kebalikan, yang ndilalah nuwun sewunya, saya temukan dalam sosok Eleanor Bishop dalam NCIS. Memang perbandingannya sama sekali nggak nyambung. Maksud saya dari segi mana pun Harry Potter bukan NCIS dan NCIS bukan Harry Potter. Tapi maksud saya di sini  adalah ketika saya melihat sosok Ellie Bishop, saya pribadi, justru mau nggak mau membandingkan sosoknya dengan Ziva David, sosok yang menjadi salah satu elemen masa keemasan NCIS. Saya membandingkan keduanya justru lantaran karakterisasi Bishop amat dibedakan dari David. Karakterisasinya justru berusaha dibuat nggak mendekati Ziva. Nggak perlu repot-repot mencari di mana bedanya. Lewat kesan pertama aja langsung nampak.  
Di sisi lain, apa yang saya liat dari Harry Potter kali ini, masing-masing karakter baru, punya nyawa sendiri. Nyawa yang juga saya temukan sejak kurang lebih 18-19 tahun yang lalu lewat versi terjemahan Harry Potter
Minimal lewat drama, kita bisa melihat bagaimana sifat Harry Potter atau Draco Molfoy menurun dengan takaran yang tepat, terkesan hati-hati mungkin istilah yang lebih pas, pada putra-putrinya (apalagi yang pembaca harapkan dari Harry Potter klo bukan nongolnya "rasa" Harry Potter  dalam cerita ini, minimal lewat karakter yang nongol minimal sekelebatan). Saya sendiri nggak akan ngejabarin bagian mana yang mirip dan bagian mana yang nggak mirip karena rasa Harry Potter ini merupakan bagian yang lebih asik kita temukan sendiri.
Mungkin memang nggak senikmat proses yang saya tempuh lewat lembar-lembar novelnya, lantaran bentuknya aja beda. Harry Potter kali ini memang sebuah naskah drama, naskah yang punya cara sendiri untuk dinikmati. Naskah yang seolah memang dibuat bagi penikmat  lama yang merindukan rasa baru, penikmat yang minimal ngeh apa dan siapakah Harry Potter, bukan penikmat yang ujug-ujug doyan dengan sekedar karya kali ini. 
Dan dari apa yang saya nikmati dengan cara saya, saya menemukan satu hal yang mencolok sejauh ini, dan sedari awal ndilalah ya belum berubah banyak. Apabila saya baru bisa ngedapet sisi Harry Potter yang kerasa banget nggak sabarannya setelah menjelang enam seri, di sini saya punya kesan pencarian jati diri, bahkan sedari sepuluh sampai lima belas halaman pertama. Bukan (cuma) pencarian jadi diri anak  pada pertengahan usia belasan tahun, tapi (juga) pencarian jati diri orang yang lebih dewasa. Mereka yang lebih dewasa kudu belajar "gimana sih jadi orang yang lebih tua" atau "Gue mo ngarahin anak-anak gue pakek model yang kayak apa sih" dan di sini ungkapan "pernah seperti kalian", "pernah seusia kalian" atau “pernah muda” dirasa nggak akan pernah cukup.
Jack Throne, pembesut drama, lumayan jeli mengarahkan pelatuknya,  bukan pada hal baru atau hal yang jarang dipandangi lekat-lekat dari Harry Potter  lantaran Harry Potter memang dikenal panasan sedari muda. Hanya saja kali ini bukan dibenturkan untuk menghadapi musuh bersama, tapi sengaja diujikan, dicemplungkan, pada problematika masa muda. Problematika Albus muda yang (merasa) lebih mengenal situasi dan Harry Potter dewasa yang merasa punya (cukup) pengalaman menghadapi pergaulan masa muda di jamannya. Sesuatu yang sebenarnya nggak mudah lantaran Harry, sewaktu muda belum pernah punya sosok panutan yang bisa disebut orang tua, orang yang mendampingi anak-anaknya di masa yang boleh dibilang menarik.  
Saya sendiri merasa beruntung udah buntu menjabarkan bagaimana kisah putra-putri Potter karena kalo dipanjangin jatuhnya jadi spoiler. Tapi dengan spoiler pula, saya mau menyampaikan yang menjadi uneg-uneg saya, uneg-uneg tentang bagaimana wujud Hermione dan Ron dewasa. Ron yang dari awal dikreasikan rada-rada:  rada bijak, rada lucu, dan rada gelagapan,   di masa muda, kehilangan sisi “pengecutnya”. Sisi di mana Ron menjadi rem bagi Hermione dan Harry ketika menghadapi petualangan seru. Sosok yang bukan sekedar menghardik ala Hermione muda tapi siap mundur-teratur apabila dirasa nggak masuk akal tanpa banyak kata. Kesan baru yang muncul dari Ron adalah perpaduan Fred, George dan bokapnya yang kocak lagi jail.
Hermione justru, buat saya, lebih parah.  Hermione yang ngebosan, dengan komentar tajem , ketus rasanya sirna. Kecerdasannya memang nggak luntur, tapi diksi yang keluar lebih ringkas. Antusiasme ala Hermione yang merekah tiap kali mendapat hal baru seakan ngilang begitu doi jadi perdana menteri sihir. Mungkin, sekali lagi mungkin, bukan karena  sifat Hermionie yang terkesan beda banget yang bikin saya protes, tapi sisi Hermione yang manusiawi yang belum tampak, sejelas Harry atau bahkan Molfoy, sampai pada titik saya membahas cerita ini (sepertiga bagian).


No comments:

Post a Comment