Kirain, saya bakal nemuin cerita tentang Harry Potter di Harry Potter and the Curse Child. Seenggaknya
itulah harapan saya. Untungnya saya nggak nemuin apa yang saya pengen cari.
Drama, yang sejauh ini (saya bilang sejauh ini, karena saya sengaja nggak
ngerampungin dulu bacanya), buat saya lebih tepat dikasih Albus Severus Snape
ini, ternyata nggak berupaya menjadikan drama ini sebagai Harry Potter versi selanjutnya atau Harry Potter versi kedua, dan (sekali lagi) sejauh ini Rowling nggak berusaha njadiin
karakter-karakternya “yang penting nggak mirip sama yang ada di Harry Potter edisi-edisi sebelumnya.” Kebalikan, yang
ndilalah nuwun sewunya, saya temukan dalam sosok Eleanor Bishop dalam NCIS.
Memang perbandingannya sama sekali nggak nyambung. Maksud saya dari segi mana
pun Harry Potter bukan NCIS dan NCIS bukan Harry Potter. Tapi maksud saya di sini adalah ketika saya melihat sosok
Ellie Bishop, saya pribadi, justru mau nggak mau membandingkan sosoknya dengan Ziva
David, sosok yang menjadi salah satu elemen masa keemasan NCIS. Saya
membandingkan keduanya justru lantaran karakterisasi Bishop amat dibedakan dari
David. Karakterisasinya justru berusaha dibuat nggak mendekati Ziva. Nggak perlu repot-repot mencari di mana bedanya. Lewat kesan pertama aja langsung nampak.
Di sisi lain, apa yang saya liat dari Harry Potter kali
ini, masing-masing karakter baru, punya nyawa sendiri. Nyawa yang juga saya temukan
sejak kurang lebih 18-19 tahun yang lalu lewat versi terjemahan Harry Potter
Minimal lewat drama, kita bisa melihat bagaimana sifat
Harry Potter atau Draco Molfoy menurun dengan takaran yang tepat, terkesan
hati-hati mungkin istilah yang lebih pas, pada putra-putrinya (apalagi yang pembaca harapkan dari Harry Potter klo bukan nongolnya "rasa" Harry Potter dalam cerita ini, minimal lewat karakter yang nongol minimal sekelebatan). Saya sendiri
nggak akan ngejabarin bagian mana yang mirip dan bagian mana yang nggak mirip
karena rasa Harry Potter ini merupakan bagian yang lebih asik kita temukan
sendiri.
Mungkin memang nggak senikmat proses yang saya tempuh
lewat lembar-lembar novelnya, lantaran bentuknya aja beda. Harry Potter kali
ini memang sebuah naskah drama, naskah yang punya cara sendiri untuk dinikmati. Naskah yang seolah memang dibuat bagi penikmat lama yang merindukan rasa baru, penikmat yang minimal ngeh apa dan siapakah Harry Potter, bukan penikmat yang ujug-ujug doyan dengan sekedar karya kali ini.
Dan dari apa yang saya nikmati dengan cara saya, saya
menemukan satu hal yang mencolok sejauh ini, dan sedari awal ndilalah ya belum
berubah banyak. Apabila saya baru bisa ngedapet sisi Harry Potter yang kerasa
banget nggak sabarannya setelah menjelang enam seri, di sini saya punya kesan
pencarian jati diri, bahkan sedari sepuluh sampai lima belas halaman pertama. Bukan (cuma)
pencarian jadi diri anak pada
pertengahan usia belasan tahun, tapi (juga) pencarian jati diri orang yang
lebih dewasa. Mereka yang lebih dewasa kudu belajar "gimana sih jadi orang yang lebih tua" atau "Gue mo ngarahin anak-anak gue pakek model yang kayak apa sih" dan
di sini ungkapan "pernah seperti kalian", "pernah seusia kalian" atau “pernah muda” dirasa nggak akan pernah cukup.
Jack Throne, pembesut drama, lumayan jeli mengarahkan pelatuknya, bukan pada hal baru atau hal yang jarang dipandangi lekat-lekat dari Harry Potter lantaran Harry Potter memang dikenal panasan sedari muda. Hanya saja kali ini bukan dibenturkan untuk menghadapi musuh bersama, tapi sengaja diujikan, dicemplungkan, pada
problematika masa muda. Problematika Albus muda yang (merasa) lebih mengenal
situasi dan Harry Potter dewasa yang merasa punya (cukup) pengalaman menghadapi
pergaulan masa muda di jamannya. Sesuatu yang sebenarnya nggak mudah lantaran
Harry, sewaktu muda belum pernah punya sosok panutan yang bisa disebut orang
tua, orang yang mendampingi anak-anaknya di masa yang boleh dibilang menarik.
Saya sendiri merasa beruntung udah buntu menjabarkan
bagaimana kisah putra-putri Potter karena kalo dipanjangin jatuhnya jadi
spoiler. Tapi dengan spoiler pula, saya mau menyampaikan yang menjadi uneg-uneg
saya, uneg-uneg tentang bagaimana wujud Hermione dan Ron dewasa. Ron yang dari awal dikreasikan rada-rada: rada
bijak, rada lucu, dan rada gelagapan, di masa muda, kehilangan sisi “pengecutnya”. Sisi di mana
Ron menjadi rem bagi Hermione dan Harry ketika menghadapi petualangan seru. Sosok
yang bukan sekedar menghardik ala Hermione muda tapi siap mundur-teratur apabila
dirasa nggak masuk akal tanpa banyak kata. Kesan baru yang muncul dari Ron adalah perpaduan Fred,
George dan bokapnya yang kocak lagi jail.
Hermione justru, buat saya, lebih parah. Hermione yang ngebosan, dengan komentar tajem , ketus rasanya sirna. Kecerdasannya memang nggak luntur, tapi diksi yang keluar lebih
ringkas. Antusiasme ala Hermione yang merekah tiap kali mendapat hal baru
seakan ngilang begitu doi jadi perdana menteri sihir. Mungkin, sekali lagi mungkin,
bukan karena sifat Hermionie yang
terkesan beda banget yang bikin saya protes, tapi sisi Hermione yang manusiawi
yang belum tampak, sejelas Harry atau bahkan Molfoy, sampai pada titik saya membahas
cerita ini (sepertiga bagian).
No comments:
Post a Comment