Jurippe & Matsujun (danni14ninohmiya.files.wordpress.com) |
Beberapa
artis jepang bisa dikenal lewat gaya bermainnya. Takuya Kimura,
misalnya, biasa bermain sebagai tokoh yang kalem dan simpatik, dengan dialog kaya petuah yang mudah dicerna. Naohito Fujiki, pemeran Rui Hanzawa (Hana Yori Dango)
generasi pertama (1995), apapun tokohnya, dibawakan dengan lembut, seantagonis atau
secool apapun karakternya. Ada juga beberapa pemain yang terkenal dengan gaya
bunglonnya seperti Eita yang jail dan urakan ala Jerry saat bermain bersama Jun
Matsumoto di dorama Lucky Seven namun berubah lempeng, rada culun dan garing di
Saiko No Rikon. Ada juga Erika Toda yang kerap menghidupkan karakter-karakter
menarik dan menantang, namun justru buat saya kurang mengena saat bermain
sebagai karakter biasa.
Erika Toda Haus (/i701.photobucket.com) |
Menarik
dinikmati jika aktris bunglon beradu akting dengan aktor yang karakternya
cenderung mantap, seperti Ueno Juri dan Matsumoto Jun. Matsumoto Jun terangkat
namanya setelah bermain sebagai Tsukasa Domyoji atau yang kita kenal dengan Koo Jun Pyo (Korea)
atau Dao Ming Si (Taiwan) dalam adaptasi Hana Yori Dango. Dalam karya-karyanya,
walaupun kadang bermain sebagai karakter urakan, pembawaannya tetap cenderung
halus. Kebalikan dengan Matsujun, Ueno Juri cenderung eksperimentatif. Saat
bermain sebagai Nodame, seorang piano
prodigy, gaya bicara dan bahasa tubuhnya mengingatkan saya pada sosok
Jengkelin tanpa makeup. Sosoknya seakan berganti saat bermain dalam Last Friend, karakter tomboi rada garang berhasil dihidupkannya dengan prima. Pada serial terbarunya,
Jurippe cukup menawan menampilkan sosok dokter pendiam dan dingin dalam Aliceno Toge. Kombinasi dua karakter ini dipertemukan dalam film Hidamari no Kanojo (Girl in Sunny Place).
Bareng Masami Nagasawa (31.media.tumblr.com) |
Dengan kapasitasnya sebagai aktris kaya eksplorasi, saya menaruh
rasa penasaran dengan sajian Ueno Juri kali ini. Terlebih sinopsis filmnya
menggoda saya dengan kata rahasia.
Sejauh saya mengunyah setengah bagian film, saya menikmati akting Ueno Juri
sebagai Mao Watari, gadis cerah ceria manja berusia 25 tahun yang bekerja sebagai
humas bidang periklanan. Gaya ringan ceria ini berpadu pas dengan karakter
Matsujun yang kali ini bermain sebagai Kosuke Okuda. Karakternya masih saja
halus, hanya saja dengan aksen kikuk malu-malu kali ini. Keceriaan mereka makin
terasa dengan balutan lagu ceria beraliran Baroque Pop Wouldn’t It Be Nice dari
Pet Sound sebagai latarnya
Eita & Matsujun (theasianedition.files.wordpress.com) |
Sampai
saat saya mengetik kata coretan ini, saya masih menunggu kejutan apa yang akan
dihadirkan Ueno Juri, mengingat awal cerita menjanjikan potensi eksplorasi
akting Ueno Juri yang penuh warna. Maklum saja Mao Watari muda digambarkan sebagai
gadis adopsi yang kehilangan 13 tahun memori hidupnya sebelum diadopsi dan saat
remaja menjadi objek favorit bully
teman sekelas karena model rambutnya yang unik serta nilai ujiannya yang kurang
menawan, saat pertama pindah ke sekolah baru. Bisa diterka tokoh Okuda
muda jadi pahlawan yang melindungi Watari. Kedua tokoh ini sempat berpisah saat
Okuda berpindah kota dan bertemu saat dewasa ketika menangani proyek bersama.
Seperti
lazimnya cerita cinta, film ini mengalunkan
rona ceria. Percik mulai mengalun disetengah bagian cerita ketika Kosuke bertemu orang tua Mao untuk melamar. Saat
bertemu keluarga Mao itulah, ayah Mao bercerita tentang kasih sayang
keluarganya dan tentang bagaimana Mao ditemukan.
Lewat karya-karyanya, tidak sulit menerka mengapa Jurippe bermain dalam suatu
cerita. Dan dugaan saya mendapat sedikit pembenaran kali ini, yap hanya sedikit.
Lewat sepertiga akhir cerita, akhirnya saya
memahami mengapa cerita film ini menarik.
Aktor penyuka tantangan biasanya memilih film entah karena perannya yang menantang atau jalinan ceritanya yang unik atau bahkan keduanya. Tanpa bermaksud mengesampingkan ekplorasi akting Ueno Juri dan pemeran lainnya, kali ini Ueno juri cukup bijak menginterpretasikan karakter Mao secara ringan, karena bisa saja jika dibawakan dengan eksplorasi akting luar biasa, keindahan ceritanya bisa jadi tak terasa.
Nodame ( i18.photobucket.com) |
Aktor penyuka tantangan biasanya memilih film entah karena perannya yang menantang atau jalinan ceritanya yang unik atau bahkan keduanya. Tanpa bermaksud mengesampingkan ekplorasi akting Ueno Juri dan pemeran lainnya, kali ini Ueno juri cukup bijak menginterpretasikan karakter Mao secara ringan, karena bisa saja jika dibawakan dengan eksplorasi akting luar biasa, keindahan ceritanya bisa jadi tak terasa.
Singkat
kata, ternyata bukan saat muda saja Kosuke menjadi pahlawan Mao. Saat masih belia,
Kosuke pernah menyelamatkan seekor kucing betina, yang menitipkan benih doa agar
kelak dapat menyatakan rasa suka pada Kosuke dalam wujud manusia. Dan saat
telah menunjukan rasa suka, pada usia 26 tahun, Mao akan menghilang. Segala
kenangan tentang Mao akan sirna, seakan feline ini memang ngga pernah ada,
bukan cuma pada Kosuke, tetapi juga keluarga dan rekan kerjanya. Segala sesuatu
yang pernah bersentuhan dengan Mao juga ngga
akan berjejak, termasuk induk kunci bertuliskan nama Mao dan Kosuke.
Cerita
ini buat saya udah ngasih nuansa yang beda. Bukan cuma kisah sukanya yang
melayang ringan, namun juga fantasinya. Mungkin seperti juga saya, mereka yang
belum pernah menikmati novelnya baru akan ngeh bahwa film ini adalah film
fantasi pada sepertiga akhir cerita. Walaupun bergaya fantasi, adegan cerita dituturkan secara wajar. Adegan dengan aroma fantasi boleh dibilang tidak banyak yaitu hanya saat Mao harus melompat menyelamatkan tetangga kecilnya yang nyaris jatuh dari apartemen. Memudarnya aksara dan induk kunci jadi aksen tersendiri. Aksen yang membuat cerita yang awalnya mengalir ceria menjadi lembut dan manis ala bolu kukus.
No comments:
Post a Comment